Jumat, 11 Oktober 2013

Moratorium TKI Memicu TKI Illegal



Dirjen Binapenta: 
Moratorium TKI Memicu TKI Illegal


 27 Agustus 2013

Jakarta, dpd.go.id – Selama ini banyak pihak mengusulkan moratorium pengiriman TKI sebagai salah satu solusi atas berbagai permasalahan yang terkait dengan TKI. Padahal pada kenyataannya moratorium pengiriman TKI justru menimbulkan masalah baru, yakni pengiriman TKI secara illegal. “Moratorium itu memicu TKI illegal. Moratorium untuk Malaysia saat ini sudah dicabut. Sebagai gantinya, kontrak TKI harus jelas terutama masalah upah,” terang Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kemenakertrans RI, Reyna Usman. Sementara, imbuh Reyna, moratorium untuk Arab Saudi dilakukan untuk evaluasi penempatan TKI di sana. “Selama moratorium berlangsung, kami melakukan bargaining position dengan pemerintah Arab Saudi. Hasilnya, pemerintah Arab Saudi membuka diri untuk pembutan MoU dan bahkan agreement.

Hal tersebut disampaikan Reyna saat memenuhi undangan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komite III DPD RI pada Selasa (27/08/2013). Selain isu penempatan TKI illegal, Reyna juga menyampaikan beberapa masalah yang masih menjadi kendala dalam pengiriman TKI. Mekanisme penempatan TKI ke luar negeri telah diatur dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Disebutkan Reyna di Gedung DPD RI Jakarta, setiap calon TKI harus memiliki sertifikat kompetensi untuk mendapatkan pengantar pembuatan Visa dan Paspor.

Saat ini, setiap TKI juga harus memiliki KTKLN (Kartu Tanda Kerja Luar Negeri) sebagai identifikasi selama TKI bekerja di luar negeri. Namun, menurut penuturan Reyna, KTKLN tersebut masih perlu dievaluasi salah satunya karena banyak keluhan yang disampaikan oleh TKI. “KTKLN menjadi bahan evaluasi bagi kami karena banyak laporan TKI yang merasa terbebani. TKI masih dipungut biaya untuk memperoleh KTKLN, padahal seharusnya gratis,” ujar Reyna.

Kendala lain yang ditemui adalah adanya dualisme pelayanan antara Dirjen Binapenta dan BP3TKI (Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI). Untuk mengatasinya, Dirjen Binapenta melakukan koordinasi dengan seluruh stake holder dan Kementerian atau lembaga terkait.

Kemudian, menjawab temuan DPD tentang paspor untuk warga Timor Leste, Reyna menyampaikan bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana keimigrasian. “Kemenakertrans dan kami sudah melakukan MoU dan membuat integrated system untuk masalah ini,” jelasnya. (af)

http://www.dpd.go.id/berita-dirjen-binapenta-moratorium-tki-memicu-tki-illegal

Istilah "Guru” Harus Muncul Dalam UU Sisdiknas


Darmaningtyas: 
Istilah "Guru” Harus Muncul 
Dalam UU Sisdiknas

Darmaningtyas
Lahir di Gunungkidul dan pendidikan terakhir di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta. Dan menulis di beberapa media massa, antara lain: KOMPAS, Media Indonesia, Koran Tempo, serta majalah/jurnal. Buku terbarunya berjudul Tirani Kapital dalam Pendidikan, Menolak UU BHP, diterbitkan Pustaka Yashiba dan Damar Press. Aktivitas sehari-hari adalah Advisor ITDP (Institute for Transportation and Development Policy) Indonesia dan Direktur INSTRAN (LSM Transportasi), Pengurusan Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan (YSIK) dan Perkumpulan PRAXIS, Dewan Penasehat CBE (Center for the betterment of Education), serta Ketua Bidang Advokasi MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia). Segala kritik, masukan, dan kontak personal dapat melalui alamat email: darmaningtyas@yahoo.com, dan instran@indo.net.id.

 27 Agustus 2013

Jakarta, dpd.go.id – Komite III DPD RI kembali menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum berkenaan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Selasa (27/08/2013). Dalam RDPU kali ini, Komite III menghadirkan Dirjen Madrasah terkait adanya isu tumpang tindih pengelolaan madrasah antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Isu tersebut ditolak oleh Dirjen Madrasah, Nur Kholis, karena menurutnya tugas masing-masing sudah jelas.

“Kami memiliki tiga tugas kunci, yaitu menggariskan dan melaksanakan regulasi, membuat standarisasi dan memberikan bimbingan teknis, serta melakukan evaluasi,” jelas Nur Kholis di Gedung DPD RI Jakarta. “Madrasah adalah sekolah yang dibimbing oleh Kementerian Agama dengan berlandaskan agama Islam,” lanjutnya.

Menurutnya lagi, madrasah memiliki perbedaan yang mendasar dengan sekolah negeri, terutama dalam muatan pendidikan agama yang diberikan. “Jika sekolah negeri hanya mendapatkan dua jam pelajaran untuk pendidikan agama, madrasah mempunyai lima mata pelajaran inti tentang keislaman, yaitu Al-Qur’an – Hadits, Aqidah – Akhlaq, Fiqh, Tarikh (sejarah), dan Bahasa Arab,” Nur Kholis menjelaskan.

Berkaitan dengan perubahan UU Sisdiknas, Nur Kholis merasakan adanya kesan desentralisasi yang kuat pada Pasal 11 ayat 1- 3 yang mengatur tentang Hak  dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah. “Mohon Pasal 11 ini dipertimbangkan,” kata Nur Kholis.

Narasumber yang lain, Darmaningtyas, menyoroti adanya pendidikan yang diselenggarakan oleh asing. Menurutnya, pendidikan tidak boleh diberikan kepada asing karena hal tersebut bertentangan dengan semangat perjuangan dan kemerdekaan. “Pendidikan adalah tugas negara, tetapi negara boleh bekerja sama dengan asing. Perubahan UU Sisdiknas harus menghilangkan ideologi neoliberal,” tegas pengamat pendidikan ini.

Persoalan lain yang juga mendasar dalam pandangan Darmaningtyas adalah ketiadaan kata “guru” dalam UU Sisdiknas. “Dalam UU Sisdiknas tidak ada kata “guru”, padahal dimensi kata itu lebih mendalam daripada pendidikan. Istilah “guru” ini harus muncul karena sekolah itu ada jika ada guru dan murid,” ujar Darmaningtyas.

Darmaningtyas juga menambahkan perlunya sinkronisasi dengan UU yang lain agar UU yang akan dibuat bisa menyelesaikan masalah, bukan malah menimbulkan masalah baru. (af)


=============================

MENGGUGAT KONVENSI UJIAN NASIONAL

KORAN TEMPO, KAMIS, 26 SEPTEMBER 2013

OLEH: DARMANINGTYAS
PENGAMAT PENDIDIKAN


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 26-27 September ini akan menggelar Konvensi Ujian Nasional, yang setiap tahun muncul sebagai polemik. Rencana konvensi tersebut sudah dikemukakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh saat konferensi pers seusai upacara Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2013 lalu. Pada saat itu, Menteri Nuh mengatakan: "Nantinya, konvensi ini akan mengundang tokoh dari berbagai pihak yang memang peduli pada pendidikan. Baik yang pro maupun yang kerap kali melontarkan kritik pedas kepada pemerintah terkait dengan kebijakan pendidikan akan disatukan melalui konvensi ini, sehingga akan muncul titik temu. Ini agar kita tidak terjebak dalam pro-kontra yang energinya tidak sedikit," ujar Menteri Nuh pada saat itu.


Namun sekarang, gagasan Konvensi UN berubah, bukan untuk mencapai kesepakatan UN perlu/tidak, melainkan sekadar untuk menata jalannya UN. Hal itu dikatakan Menteri Nuh dalam berbagai kesempatan menjelang pra-konvensi di daerah. Pernyataan Kepala Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud, Bambang Indrianto (Tempo, 24 September 2013 halaman A17), memperjelas pernyataan Menteri Nuh tersebut: bahwa Konvensi UN tidak untuk menghapuskannya, melainkan untuk membicarakan berbagai kelemahan pelaksanaan UN sejak diterapkan sepuluh tahun lalu. "Kami ingin mengetahui kondisi riil di masing-masing daerah dan mencari formula yang pas untuk tahun-tahun mendatang," kata Bambang Indrianto.

Sebagai orang awam yang mengikuti perkembangan wacana pendidikan dari media massa, jujur saja penulis melihat adanya inkonsistensi. Pertama, soal gagasan. Awalnya, konvensi dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan antara yang pro dan yang kontra, sehingga dapat menjadi acuan memutuskan nasib UN selanjutnya. Tapi, dalam perkembangannya, konvensi hanya dimaksudkan untuk mencari masukan perbaikan pelaksanaan UN. Ini berarti, Kemdikbud bulat sikapnya bahwa UN tetap akan dilaksanakan sebagai penentu kelulusan, sehingga pelaksanaannya di ujung tahun, dan yang diperlukan sekarang adalah masukan perbaikan untuk pelaksanaannya. Salah satu gagasan perbaikan pelaksanaan UN yang sudah muncul pada saat pra-konvensi di Denpasar yang lalu adalah pencetakan soal di daerah dan menaikkan proporsi nilai rapor menjadi 60 persen untuk penentuan kelulusan.

Kedua, masalah peserta Konvensi UN. Pada awal Mei lalu dikatakan bahwa peserta Konvensi UN adalah mereka yang pro dan yang kontra terhadap kebijakan UN guna menyatukan pendapat mereka. Tapi ternyata, sampai artikel ini ditulis, hanya segelintir orang yang selama ini dikenal getol menolak UN, bahkan menggugat ke MA, diundang ikut konvensi. Berdasarkan kegiatan pra-konvensi di beberapa daerah, yang diundang dalam Konvensi UN adalah para guru (yang tentu tidak pernah terdengar suaranya di publik), kepala sekolah, kepala dinas, akademisi, dan Dewan Pendidikan. Dengan demikian, peserta Konvensi UN sangat homogen. Wajar bila hasilnya satu suara dengan Kemdikbud yang menyatakan bahwa UN tetap diperlukan dengan perbaikan dalam pelaksanaannya. Lalu, untuk apa harus ada konvensi?

Sebetulnya baik yang pro maupun yang kontra terhadap UN itu tidak menggugat keberadaan UN, melainkan menggugat fungsi UN. Baik yang pro maupun yang kontra sama-sama memandang perlunya ada UN dalam sistem persekolahan, guna menciptakan standar kualitas pendidikan nasional. Sebab, kalau tidak ada UN yang dilaksanakan secara periodik, dengan cara apa kita dapat mengukur kualitas pendidikan nasional? Dalam FGD (Focus Group Discussion) Oktober 2012 yang diselenggarakan Balitbang Kemdikbud, para penolak UN sebagai penentu kelulusan sama sekali tidak anti-UN, yang ditolak adalah UN sebagai penentu kelulusan. UN sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan nasional tetap diperlukan sebagai acuan pengembangan pendidikan nasional.

Apa perbedaan UN sebagai penentu kelulusan dan sebagai sarana pemetaan kualitas? Pertama, jika UN dilaksanakan pada setiap tahun di ujung kelas (VI SD dan III SMP/SMA/SMK), hasil UN otomatis berimplikasi pada lulus/tidaknya murid. Sekolah-sekolah yang mendapatkan nilai UN tinggi mendapat ganjaran, baik berupa tambahan anggaran maupun lainnya. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang memiliki nilai UN jelek, bahkan tidak lulus 100 persen, diberi hukuman dengan diancam akan ditutup. Akhirnya, yang terjadi, UN memperlebar kesenjangan pendidikan antara sekolah-sekolah (negeri) yang bagus dan sekolah-sekolah (swasta) pinggiran, karena sekolah bagus diberi perhatian lebih (reward) atas pencapaian nilai UN yang bagus, sedangkan sekolah-sekolah dengan nilai UN terendah tambah merana, bahkan terancam ditutup karena dianggap mencemari kualitas pendidikan di daerahnya.

Kedua, jika UN sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan nasional, UN tidak harus dilaksanakan setiap tahun dan pada ujung kelas. Sangat mungkin dilaksanakan dua/tiga tahun sekali dan bisa di akhir semester I kelas VI SD/III SMP/SMA/SMK. Hasilnya tidak berimplikasi pada kelulusan murid. Kelulusan murid tetap menjadi domain guru, karena gurulah yang lebih tahu perkembangan murid pada saat mulai masuk hingga akhir masa pelajaran. Berdasarkan hasil UN itu, pemerintah melakukan perbaikan pelayanan pendidikan. Sekolah-sekolah yang mencapai nilai UN tinggi difasilitasi agar tetap dapat mempertahankan posisinya. Tapi sekolah-sekolah dengan nilai UN jelek diberi perhatian khusus/lebih melalui peningkatan anggaran dan bimbingan teknis agar pada UN berikutnya mereka dapat mengatasi ketertinggalannya dari sekolah-sekolah yang memiliki nilai UN bagus. 

Dengan demikian, UN sebagai sarana pemetaan kualitas pendidikan akan menciptakan pemerataan kualitas pendidikan. Itu bertolak belakang dengan UN sebagai penentu kelulusan. Inilah yang mendasari sikap kukuh kami untuk menolak fungsi UN sebagai penentu kelulusan.

Pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan juga kontradiktif dengan roh Kurikulum 2013, yang standar proses dan penilaiannya mengalami perubahan mendasar. Proses pembelajaran Kurikulum 2013 menekankan keaktifan murid untuk bertanya, mengeksplorasi, melakukan percobaan, membangun jaringan, dan menyusun laporan. Sedangkan standar penilaiannya ada penilaian otentik, penilaian diri, portofolio, dan lainnya. Semuanya menjadi sia-sia bila evaluasinya dengan UN. Kemdikbud perlu konsisten: bila hendak mempertahankan UN sebagai penentu kelulusan, lebih baik batalkan saja Implementasi Kurikulum 2013. Tapi, bila hendak melaksanakan Kurikulum 2013, sebaiknya tidak menjadikan UN sebagai penentu kelulusan, karena keduanya memiliki roh berbeda. Dengan demikian, kalau dipaksakan menjadi satu, sangat tidak konsisten. Persoalan inkonsistensi kebijakan inilah yang menjadi catatan besar untuk Kemdikbud dan sekaligus munculnya gugatan terhadap Konvensi UN. *



Delegasi Global Educational Communication Technology (GLECT) Jepang


GLECT Jepang: 
Kemauan Adalah Hal Terpenting 
Dalam Belajar

29 Agustus 2013

Jakarta, dpd.go.id – Komite III DPD RI menerima delegasi dari Global Educational Communication Technology (GLECT) Jepang bertempat di Gedung DPD RI, Jakarta. Audiensi yang dilaksanakan pada Kamis (29/08/2013) tersebut bertujuan memperkenalkan GLECT yang selama kurang lebih satu tahun ini telah melakukan kerja sama dengan Unversitas Garut, Jawa Barat.

Direktur GLECT Toshinari Fuchino memperkenalkan GLECT kepada anggota Komite III DPD RI sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pendidikan. Fuchino yang hanya bisa berbahasa Jepang ini mengaku ingin mengajarkan bisnis pendidikan yang sedang dikembangkannya ini kepada orang-orang Indonesia, bahkan ke depannya ia berencana mempekerjakan orang-orang Indonesia. “Penghasilan yang kami peroleh akan kami putar untuk beasiswa,” ujar Fuchino dalam Bahasa Jepang yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah.

Salah satu alasan Fuchino membawa GLECT dan membantu mengembangkan pendidikan di Indonesia adalah semangat dan motivasi anak-anak untuk belajar. Menurutnya, yang dibutuhkan untuk belajar bukanlah uang, tetapi pembelajaran dan kemauan untuk belajar. Dengan sistem pembelajaran GLECT, Fuchino bersama timnya ingin memberikan kemampuan atau skills kepada orang Indonesia serta memberikan pengertian pembelajaran yang sebenarnya agar Indonesia bisa semakin maju, mengingat Sumber Daya Alam Indonesia yang masih melimpah.

Komite III DPD RI menyambut baik kehadiran GLECT di Indonesia dan berharap GLECT dapat memberikan manfaat bagi pendidikan di Indonesia. “Merupakan berkah bagi kami jika dapat dilakukan kerja sama. Sebagai perwakilan daerah, kami dapat menjembatani komunikasi dengan Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan, juga sekolah-sekolah,” ujar Ahmad Jajuli, senator dari Provinsi Lampung selaku wakil Komite III.

Lebih lanjut, salah satu misi GLECT adalah membantu siswa agar bisa mandiri dengan memberikan bimbingan serta arahan. Pembelajaran yang diberikan diharapkan dapat memberikan keahlian kepada siswa sehingga GDP (Gross Domestic Product) Indonesia akan naik. Pembelajaran GLECT menerapkan teknologi yang cukup tinggi dengan menggunakan komputer, jaringan WI-FI, printer, dan bahkan tablet yang semuanya dapat dioperasikan sendiri oleh siswa.

Namun, penggunaan teknologi tinggi tersebut dipandang akan menjadi kendala bagi daerah-daerah terpencil di Indonesia. Melihat kondisi tersebut, Fuchino berjanji akan melakukan kunjungan ke beberapa daerah untuk melihat kondisi dan memikirkan sistem pembelajaran yang tepat. (af)      

Pencurian Benda Purbakala



Pencurian Benda Purbakala: 
Perlu Ada Pengetatan Pengamanan 
Terhadap Benda Cagar Budaya


 20 September 2013

Jakarta, dpd.go.id – Kasus hilangnya benda cagar budaya koleksi Museum Nasional telah membuka mata publik betapa lemahnya perlindungan terhadap benda-benda berharga tersebut. Peristiwa semacam ini bukan pertama kali terjadi, menurut Didied Mahaswara (Ketua Forum Penyelamatan Aset dan harta Negara) dibeberapa museum lain juga pernah kehilangan koleksinya seperti yang terjadi di Solo dan Yogyakarta. Hal tersebut disampaikan Didied dalam diskusi radio dengan tema “Pencurian Benda Purbakala, Kriminalitas yang Diabaikan,” di Pressroom DPD RI, Jumat (20/09/2013).

“Modus pencurian antara lain dengan memalsukan koleksi yang ada, kemudian yang asli diganti dengan tiruan tersebut. Kedepan sangat mendesak dilakukan sertifikasi untuk mendata koleksi benda purbakala agar terjaga keamanan dan keasliannya,” kata Didied.

Dilihat dari modus pencurian yang ada, pelaku jelas sudah terorganisir atau dilakukan oleh sindikat pencuri benda purbakala. Mengingat nilainya yang lebih dari sekedar nilai material, benda purbakala sebagai peninggalan sejarah perlu dijaga dengan standar keamanan yang tingga. Usulan tersebut disampaikan oleh kriminolog, Bambang Widodo Umar, yang menyoroti bahwa pengamanan museum dan lokasi penyimpanan benda-benda bersejarah masih belum terintegrasi dengan baik.

“Museum bisa diusulkan menjadi objek vital Negara, dengan demikian penjagaan keamanan akan lebih terkoordinir dari tingkat internal gedung hingga kepolisian dan TNI. Sehingga ketika terjadi kehilangan akan lebih cepat penanganannya,” jelas Bambang.

Peningkatan penjagaan benda purbakala juga didukung oleh Anggota DPD RI, Ahmad Jajuli (Provinsi Lampung). Menurut Jajuli, perlu ada grand design pengamanan benda cagar budaya. “Belajar dari peristiwa kehilangan ini, pemerintah seharusnya menjadikannya sebagai momentum untuk perbaikan perlindungan terhadap benda cagar budaya. Namun lebih dari itu, pencurian terhadap benda cagar budaya juga menunjukkan betapa lemahnya rasa memiliki dan kepedulian warga masyarakat untuk melindungi benda cagar budaya tersebut,” tutup Jajuli. (saf)



Hasil Uji Sahih Revisi UU Sisdiknas



Komite III DPD RI Laporkan Hasil Uji Sahih Revisi UU Sisdiknas


01 Oktober 2013

Jakarta, dpd.go.id – Usai melakukan kunjungan kerja dalam rangka uji sahih RUU Perubahan atas UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di tiga wilayah yaitu Provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Provinsi Maluku, Komite III DPD RI menggelar Sidang Pleno pada Senin (30/9/2013). Sidang pleno tersebut diselenggarakan di Gedung GPD RI Jakarta untuk mendengarkan laporan uji sahih dari masing-masing wilayah.

Alvius Lomban, anggota DPD RI dari Provinsi Sulawesi Utara, membacakan laporan uji sahih yang bertempat di Provinsi Sumatera Utara. Dalam laporannya, Alvius menyebutkan bahwa perubahan UU Sisdiknas diharapkan dapat memberikan dampak psikomotorik seperti karakter dan perilaku. Beberapa masalah yang disoroti adalah sarana prasarana yang masih kurang baik, tidak adanya peningkatan karir bagi guru, serta beban pendidikan yang dirasa lebih condong pada guru pendidikan dasar. “Pendidikan semestinya tidak hanya dibebankan pada guru SD, tetapi juga pada guru sekolah menengah,” kata Alvius Lomban.

Sementara itu, Abraham Liyanto yang mengikuti kegiatan uji sahih di Maluku menemukan masalah pendidikan yang harus segera ditangani seperti mutu pendidikan yang masih minim, potensi guru yang rendah, dan transportasi yang kurang memadai karena kondisi geografis Maluku. Kemudian, salah satu rekomendasi penting yang dihasilkan dalam uji sahih di Maluku adalah perlindungan terhadap pendidik dan tenaga kependidikan dari praktik politik praktis.

Lain halnya dengan uji sahih di Kalimantan Timur. Menurut laporan yang dibacakan oleh anggota DPD RI dari Banten, Abdi Sumaithi, rekomendasi utama yang dihasilkan adalah pembatasan terhadap praktik pendidikan yang dilakukan oleh lembaga asing serta penghapusan Ujian Nasional. (af)




Ulang Tahun DPD RI Ke-9



DPD RI Berulang Tahun Ke-9


01 Oktober 2013


Jakarta, dpd.go.id – DPD RI memberikan apresiasi yang tinggi terhadap semua pihak terutama seluruh rakyat Indonesia atas keberhasilan DPD sampai usia ke-9, kekuatan kelembagaan DPD terus berlangsung baik dalam konteks kinerja legislasi dan pengawasan maupun dalam kedudukan konstitusional  dalam sistem kenegaraan. Pada puncaknya telah ditetapkan Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Maret 2013, yang telah mengembalikan dan memulihkan hak-hak konstitusional DPD dibidang legislasi dan prolegnas  sesuai dengan UUD 1945.  “Banyak tantangan besar harus dihadapi dan memerlukan perhatian, komitmen, kesatuan gerak langkah dan kerja keras,” tegas Irman Gusman dalam Pidatonya pada Sidang Paripurna DPD RI di Senayan-Jakarta,  Selasa (01/10/2013).. “Momentum ulang tahun yang ke-9 ini merupakan kesempatan untuk mengindentifikasi tantangan dan langkah strategis yang perlu ditempuh bersama,” tambahnya.

DPD RI secara simultan mengaktualisasikan dirinya dengan keputusan yang sudah diambil selama sembilan tahun ini yang terdiri dari 418 keputusan, 39 usul inisatif RUU, 188 Pandangan dan Pendapat atas RUU, 14 Pertimbangan, 52 Pertimbangan terkait anggaran, 116 Pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, 4 usulan  Prolegnas dan 5 hasil Rekomendasi DPD RI. Kedepan harus ditingkatkan baik jumlah dan kualitasnya sehingga lebih bermanfaat bagi masyarakat, daerah, bangsa dan negara.


Sidang Paripurna DPD RI yang ke-3 dengan agenda tunggal Pidato Ketua DPD RI dalam rangka ulang tahun DPD RI ke-9 dihadiri oleh Sidartha Danusubroto (Ketua MPR RI), Marzuki Ali, (Ketua DPR RI), Muhammad Atta Ali (Ketua MA RI), Akil Muktar (Ketua MK RI), Wakil Ketua MA RI, Wakil Ketua MPR RI, Ketua Lembaga-lembaga, Lembaga Donor, para Rektor dan tamu undangan yang mewakili daerah. Rangkaian acara dalam rangka peringatan ultah DPD RI diadakan bakti social, donor darah yang diikuti oleh Anggota DPD RI, pejabat/pegawai di lingkungan Sekretariat Jenderal DPD/MPR/DPD RI, dan pameran foto hasil jurnalis di lingkungan parlemen yang diambil selama 1 (satu) tahun.




Sidang Paripurna Ke-5 DPD RI



Pengesahan Keputusan DPD RI 
Dalam Sidang Paripurna Ke-5 DPD RI

01 Oktober 2013


Jakarta, dpd.go.id – Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar Sidang Paripurna Ke-5 di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (01/10/2013). 

Agenda dalam sidang paripurna antara lain: 

  1. Penyampaian Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2013 dan Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI; 
  2. Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas Alat Kelengkapan DPD RI; 
  3. Pengesahan Keputusan DPD RI.

Terkait pengesahan keputusan DPD RI, Alirman Sori (Anggota DPD RI dari Provinsi Sumatera Barat) selaku Ketua Komite I DPD RI meminta pengesahan Keputusan atas Pandangan DPD RI terhadap RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 

Selain itu, Komite I DPD RI juga meminta agar sidang paripurna dapat mengesahkan:
  1. Pandangan dan Pendapat terhadap Aspirasi Masyarakat dan Daerah tentang Pembentukan Kabupaten Lembak sebagai Pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu.
  2. Pandangan dan Pendapat terhadap Aspirasi Masyarakat dan Daerah tentang Pembentukan Kabupaten Adonara sebagai Pemekaran dari KAbupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur.
  3. Pandangan dan Pendapat terhadap Aspirasi Masyarakat dan Daerah tentang Pembentukan Kabupaten Tayan sebagai Pemekaran dari Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat.
  4. Pandangan dan Pendapat terhadap Aspirasi Masyarakat dan Daerah tentang Pembentukan Kabupaten Simalungun Hataran sebagai Pemekaran dari Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.
Alat kelengkapan DPD RI yang juga meminta pengesahan Keputusan DPD RI dalam sidang paripurna adalah Komite II DPD RI terkait pengesahan RUU Usul Inisiatif. 
Komite II DPD RI meminta pengesahan terhadap: 


  1. RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
  2. RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan


Sementara itu Komite III DPD RI yang membidangi masalah Pendidikan; Agama; Kesehatan; Kesejahteraan Sosial; Kebudayaan; Pariwisata; Pemuda dan Olah Raga; Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; dan Ketenagakerjaan juga meminta pengesahan Keputusan DPD RI dalam Sidang Paripurna ke-5. 

“Melalui sidang paripurna yang mulia ini memohon kepada Pimpinan dan Anggota  DPD RI untuk dapat mengesahkan Hasil Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan pengesahan Keputusan DPD RI terhadap Hasil Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),” harap Elviana (Anggota DPD RI dari Provinsi Jambi) selaku Ketua Komite III DPD RI.

Kemudian terkait dengan masalah anggaran yang menjadi bidang pembahasan dalam Komite IV DPD RI, maka Komite IV meminta pengesahan Keputusan terhadap RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2014. DPD RI mencatat bahwa rasio dana transfer daerah terhadap APBN cenderung tidak tetap bahkan menurun. DPD RI berpendapat bahwa kenaikan dana transfer daerah harus lebih besar dari kenaikan belanja kementerian/lembaga. Dengan langkah itu, DPD RI meyakini bahwa RAPBN 2014 benar-benar memberikan manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan percepatan pembangunan daerah.